Ada dua narasi besar yang Kang Dedi selalu sosialiasasikan dan perjuangkan, bahkan berhasil ia wujudkan dalam berbagai kebijakan dan progr...
Ada dua narasi besar yang Kang Dedi selalu sosialiasasikan dan perjuangkan, bahkan berhasil ia wujudkan dalam berbagai kebijakan dan program. Yakni budaya dan desa. Dua narasi inilah yang ia jadikan andalan dalam memimpin, membangun dan melayani masyarakatnya.
Dua narasi ini melawan arus pada umumnya. Biasanya, orang-orang berpikir bahwa agar menciptakan kemajuan sebuah bangsa maka mereka harus berkiblat pada modernitas yang diimpor dari luar. Di antara outputnya adalah berdirinya gedung-gedung tinggi mencakar langit, membangun kota-kota besar yang modern, dan globalisasi budaya yang seragam dalam berbagai sisi kehidupan.
Nah, cara berpikir umum itu didekonstruksi oleh Kang Dedi. Baginya, sebuah bangsa akan maju jika mereka menggali dan menghormati nilai-nilai luhur budayanya, hidup dengan budayanya, dan selaras dengan nilai-nilai agung budayanya. Budaya itu berkaitan dengan empat hal, yakni tanah, air, udara dan api (matahari). Perlakuan kita terhadap keempatnya itulah yang melahirkan kebudayaan sebuah bangsa. Dan ketika kita maju dan beradab dalam memperlakukan keempatnya, maka kita ini akan maju dan berkembang tanpa kehilangan jatidiri.
Sebab itu, budaya itu bukan semata-mata tentang kesenian, tarian, nyanyian, makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Budaya itu menyangkut seluruh aspek kehidupan yang dimulai dari kognisi (cara berpikir), spiritualitas, penghayatan, cara berbahasa, komunikasi, pengamalan, interaksi dengan diri, Tuhan, sesama, dan alam sekitar, dan lain sebagainya.
Dalam perspektif Kang Dedi, ketika manusia telah selaras dengan diri dan alam sekitarnya maka mereka akan sehat, cerdas, damai dan sejahtera. Mereka takkan mudah sakit, takkan terkenai kerusuhan sosial, dan takkan kekurangan bahan pangan. Radikalisme dan intoleransi bisa dikikis dengan cara menguatkan nilai-nilai budaya dan memfasilitasinya tumbuh dan berkembang di masyarakat.
Sebenarnya keselarasan diri dengan alam itu sudah menjadi budaya para leluhur kita di Indonesia. Karenanya semua suku di Indonesia telah memiliki keunggulan budayanya masing-masing. Mereka telah memiliki kearifan lokal baik mengenai diri, dan interaksi dengan sesama manusia, makhluk hidup, bahkan alam sekitar.
Memang tidak kalangan yang salah paham terhadap narasi budaya yang diusung oleh Kang Dedi. Sehingga mereka menuduhnya musyrik. Padahal kalau mereka mau mengkajinya melalui pendekatan yang holistik dan mendalam, mereka takkan memiliki alasan untuk menolaknya.
Tetapi memang sulit menjelaskan kebenaran kepada orang yang pikirannya sudah diliputi oleh kebencian dan tertutupi oleh kedunguan. Kalangan seperti ini sesungguhnya sedikit, tetapi mereka suka gaduh dan berisik. Parahnya lagi, mereka merasa diri paling mengerti agama, sekalipun pengetahuan agamanya tidak seberapa.
Sebagai contoh misalnya tentang menjaga lingkungan dalam peningkatan kesejahteraan. Jika diulas dalam kacamata teologis kewahyuan, apa yang Kang Dedi ungkap dan contohkan itu merupakan manifestasi dari sejumlah ayat Al-Quran tentang larangan membuat kerusakan di muka bumi, tentang penegasan Al-Quran bahwa kerusakan di darat dan laut itu disebabkan oleh ulah tangan manusia, tentang penegasan Al-Quran bahwa jika suatu kaum bertakwa kepada Allah maka Dia akan menurunkan keberkahan dari langit dan bumi, dan sebagainya.
Hanya saja, dalam implementasinya, Kang Dedi memang tidak sering mengutip ayat-ayat atau hadits. Ia menggunakan simbol dan diksi yang merupakan bagian dari budaya, khususnya budaya Sunda. Kemudian ia langsung mewujudkannya dalam kebijakan dan program, dengan menggali kearifan lokal dan kultur yang hidup di masyarakatnya. Berulangkali ia menyampaikan bahwa budaya Sunda itu tidak bertentangan dengan keislaman atau keagamaan secara umum. Sunda dan Islam itu satu kesatuan. Sehingga, ketika ia menghidupkan budaya Sunda, itu sama saja dengan menghidupkan nilai-nilai Islam yang sudah terserap oleh leluhur Sunda beratus-ratus tahun silam.
Berangkat dari kesadaran budaya itu, lahirlah di Purwakarta gerakan dan tradisi beras perelek, ATM Beras gratis, membeli 100 sumber mata air untuk rakyat, melestarikan simbol-simbol budaya Sunda, menghidupkan kaulinan budak (permainan anak-anak), mentradisikan program Malam Purnama, memasukkan pelajaran vokasional di persekolahan, mewajibkan penggunaan kain sarung dan kopiah setiap hari Jumat, memasyarakatkan pakaian Sunda (iket, pangsi, cetok), menyelenggarakan sejumlah festival kebudayaan tingkat dunia, membangun banyak taman asri yang berkelas dunia (seperti Taman Air Mancur Sri Baduga), memasyarakatkan kuliner khas Sunda (Purwakarta) hingga ke mancanegara, dan lain sebagainya.
Kemudian, secara sosiologis, masyarakat yang masih setia dan mempertahankan nilai-nilai luhur budaya itu adalah masyarakat desa. Karenanya, untuk menguatkan budaya, maka yang harus dikuatkan secara simultan adalah desa. Itulah sebabnya Kang Dedi memiliki perhatian yang sangat besar dan intensi f terhadap desa. Infrastruktur desa dibangun dan dilengkapi. Potensi desa digali. Tradisi desa dihidupkan kembali, destinasi wisata desa diciptakan, seperti membangun Bukit Panenjoan, membangun Hotel Gantung di Tebing Gunung tertinggi di dunia, dengan 99 kamar (di gunung Parang, dengan nama Badega Gunung Parang atau Pajajaran Anyar). Kepala desa digaji hingga 4 juta per bulan dari APBD. Setiap desa (yang berjumlah 183 desa itu) disediakan dana abadi berupa Dana Investasi Desa untuk menciptakan Desa Mandiri, di mana setiap desa memiliki dana investasi desa mulai 1 hingga 5 milyar per tahun. Dan lain sebagainya.
Karenanya, antara budaya dan desa itu satu kesatuan. Kang Dedi sering menegaskan bahwa pada akhirnya orang-orang akan merindukan desa, desa yang betul-betul desa; karenanya mereka akan berkunjung dan kembali ke desa. Oleh sebab itu, desa harus mendapatkan perhatian dengan serius dan dibangun dengan benar.
Dari kesadaran dan konsep ini maka Purwakarta benar-benar berubah. Dari semula tidak dikenal, kini ia telah mendunia dan menjadi pusat destiniasi wisata di Jawa Barat. Purwakarta saat ini telah menjelma menjadi surga wisata di Jawa Barat. Saat ini, kalau orang ingin berwisata ke Jawa Barat, Purwakarta menjadi pilihan favorit.
Narasi Dedi Mulyadi telah membuat banyak orang terhenyak. Ketika orang-orang sedang menuju keluar, berkiblat kepada globalisasi dan modernitas, Kang Dedi mengajak mereka kembali ke budaya dan desa. Dengan keduanyalah, katanya, sebuah bangsa akan maju dan diperhitungkan bangsa lain.
Kang Dedi memang pemimpin yang melawan arus, menentang mainstream. Dan ia sudah berulang menerima risiko dari sikapnya ini. Namun kini kekuatan visinya telah menjadi arus tersendiri, menyadarkan dan menginspirasi banyak orang. Kelak mereka akan mengikuti arusnya dan turut menari.
Jika seseorang telah memiliki visi bagus, maka melawan arus itu harus….! Dedi Mulyadi sedang menjalaninya…!