Budayawan Sujiwo Tejo turut mengahadiri Silaturahim Budaya yang digelar Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia pada akhir bulan lalu, di ...
Budayawan Sujiwo Tejo turut mengahadiri Silaturahim Budaya yang digelar Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia pada akhir bulan lalu, di gedung PBNU, Jakarta. Ia sempat bernyanyi beberapa lagu dan mengikuti sarasehan budaya. Selepas kegiatan itu, ia sempat diwawancarai Abdullah Alawi dari NU Online tentang beberapa hal terkait kebudayaan di NU. Berikut petikannya:
Apa pendapat Anda tentang Lesbumi?
Oh, saya pas kecil, kalau tidak ada Lesbumi, tidak ada hiburan di situbondo. Mereka bikin ludruk, bikin banyak hal. Di situbondo itu, kegiatannya, saya waktu SD, kalau enggak ada Lesbumi, ya sepi. Lesbumi bikin ini, bikin itu, saya nonton; ketoprak. Itu yang saya selalu saya kenang. Makanya saya kan sekarang ditaro di Lesbumi juga.
Itu peran yang paling konkret yang saya rasakan. Kalau tidak ada Lesbumi, Situbondo daerah yang sunyi dari kesenian-kesenian juga. Mereka nanggap wayang juga. Peran yang paling membekas bagi saya itu.
Bagaimana peran Lesbumi saat ini?
Kalau Pak Said (Ketua Umum PBNU) ngandikane (mengatakan, red.) pencapaian kebenaran yang mendekati lebih kebenaran bukan dari premis-premis, tapi dari kesenian. Jadi, kalau keseniannya tinggi makin tinggi pula bangsa ini, maka konflik antaragama, antarsekte di dalam agama juga bisa dikurangi karena mereka mencari kebenarannya tidak dari premis-premis, tidak dari anggapan-anggapan kebenaran itu, tetapi dari sesuatu yang lebih dari hati itu. Kalau dari hati kan pasti ketemu.
Bagaimana saran untuk memaksimalkan peran dalam penataan kebudayaan di NU?
Wah, itu yang agak angel (sulit, red.). Kalau aku secara garis besarnya, NU jangan ngurus komunitas tok.
Bagaimana itu?
Ya bisnis, bikin rumah sakit. Bukan bisnis, ya, bikin perguruan-perguruan tinggi, duitnya untuk menghidupkan kesenian, jangan dari donatur-donatur begitu. Ya.