Lensa news - Dunia kini sedang demam dengan pemberitaan tentang baju renang yang menutup sekujur tubuh kecuali wajah, telapak tangan d...
Lensa news- Dunia kini sedang demam dengan pemberitaan tentang baju renang yang menutup sekujur tubuh kecuali wajah, telapak tangan dan telapak kaki atau disebut Burkini yang dilarang di beberapa kota di Perancis. Kenyataannya baju renang syar'i ini sangat diminati oleh nonmuslim, malah Burkini ini semakin laris manis di Perancis dan negara-negara lain setelah kasus pelarangan polisi Perancis di sebuah pantai.
Seorang penjual Burkini online yang situsnya diberi nama Ahiida, mengatakan kliennya kebanyakan para nonmuslim. Ialah Aheda Zanetti, penjual Burkini yang mengungkapkan setidaknya lebih dari 40 persen pembelinya bukan muslimah dan ia sudah menjual burkini untuk waktu yang cukup lama.
Aheda yang lahir di Libanon menjelaskan burkini tidak hanya dikhususkan bagi perempuan yang beragama Islam. Ia mengatakan, sudah delapan tahun berjualan burkini dan telah menjual ribuan pakaian renang itu ke seluruh dunia, salah satunya ke Prancis.
Burkini bukanlah sebuah pakaian renang yang ditujukan khusus untuk muslimah. Bukan sebuah simbol untuk muslim juga hanya karena ada penutup kepala. Saya membuat burkini disesuaikan dengan budaya Australia dan gaya hidup masyarakat di sana, ucap Aheda.
Ia juga menambahkan, Burkini bisa dipakai semua orang tanpa peduli ras, agama, bentuk tubuh, warna kulit, dan apa pun alasannya. Perempuan bisa menentukan pilihannya sendiri, baju yang akan mereka pakai.
Ungkapan ini terkait dengan pemerintah Prancis yang pekan lalu melarang penggunaan Burkini saat berenang di pantai maupun kolam renang. Alasannya adalah burkini tidak seusai dengan budaya Prancis yang dinamis dan terbuka.
Pelarangan burkini di sejumlah kota di Prancis ini, tentu membuat Aheda Zanetti prihatin. Pasalnya ia merasa itu hanya sebuah baju renang, demi Tuhan, kata Zanetti, saat ditanya tentang kehebohan Burkini. Menurutnya, pelarangan burkini adalah penindasan terhadap perempuan.
Padahal, diakui banyak wanita memilih Burkini agar kulitnya terhindar dari efek buruk paparan sinar Matahari. Banyak juga ibu-ibu yang risih mengenakan bikini.
Burkini melambangkan kebebasan, gaya hidup sehat, percaya diri, kata Zanetti, seraya mencontohkan seorang pelanggannya, pengidap kanker kulit, yang tentu tidak bisa memakai baju renang biasa di bawah sinar Matahari.
Ribut-ribut tentang Burkini, Zanetti pun kebanjiran e-mail, baik berisi pujian maupun cacian. “Seorang pria Italia mengatakan, ‘Saya senang melihat wanita berbikini, apa yang kamu lakukan terhadap kami?’ Lalu, ia jawab, ‘Gunakan imajinasimu.’”
Diakui Zanetti, ribut-ribut soal Burkini malah membuat kreasinya laris manis, dan keuntungannya berlipat ganda, termasuk di Eropa. Tapi daripada Burkini ‘mubazir’ di Paris, ia pun mengajak para wanita berlibur di pantai-pantai Australia saja.
Senada dengan Zanetti, aktris Prancis, Isabelle Adjani, juga menyayangkan pelarangan burkini di 23 resor di Prancis. Ia mengatakan, bahwa tidak bisa melarang perempuan pergi ke pantai hanya gara-gara kostumnya,” kata wanita 61 tahun ini.
Adjani menilai pelarangan Burkini tak terlepas dari perdebatan politik. Padahal burkini bukan hanya dikenakan dan dikreasikan oleh muslim. Terbukti butik retail Marks and Spencer (M & S) juga menjual burkini di cabangnya di 58 negara.
Burkini Marks and Spencer laris manis. Juru bicara M & S, Emily Dimmock menyatakan, Ini pertama kalinya mereka menawarkan Burkini di Inggris Raya, juga secara global melalui website, dan langsung ludes.
Sementara di pihak pemerintah Prancis, Menteri Dalam Negeri Prancis Bernard Cazeneuve memperingatkan stigma terhadap Muslim. Stigma ini tumbuh menurutnya setelah munculnya foto polisi yang sedang meminta seorang wanita di pantai melepas Burkininya.
"Penerapan sekularisme dan pilihan mengadopsi keputusan tersebut tak harus menyebabkan stigmatisasi atau penciptaan permusuhan di antara orang-orang Prancis," kata Cazeneuve.
Sebelumnya puluhan kota dan desa di Prancis telah melarang penggunaan burkini. Presiden French Council of the Muslim Faith (CFCM), Anouar Kbibech, meminta digelarnya pertemuan darurat dengan Cazeneuve setelah beredarnya foto polisi yang meminta seorang wanita berjilbab yang duduk di Nice membuka atasan lengan panjangannya. Di dalam foto itu menunjukkan wanita tersebut mendapat tekanan dari polisi. Kantor walikota Nice membantah polisi memaksa perempuan itu melepas pakaian dan jilbabnya. Mereka mengatakan perempuan dalam foto sedang menunjukkan pakaian renang yang dikenakannya.
Seharusnya keputusan untuk membuat peraturan itu tidak disandarkan atas stigma terhadap suatu kaum atau golongan, namun harus terlepas dari itu semua. Ditakutkan hal ini akan membuat sebuah keputusan terkesan tidak adil terhadap beberapa pihak. (mrz/dbs)