Sebagian besar orang pernah mengalami Déjà vu, sensasi sekilas yang membuat Anda merasa pernah mengalami suatu peristiwa, atau melewati s...
Sebagian besar orang pernah mengalami Déjà vu, sensasi sekilas yang membuat Anda merasa pernah mengalami suatu peristiwa, atau melewati sebuah tempat, padahal Anda tidak pernah benar-benar mengalaminya atau melewati tempat tersebut. Menurut riset, sekitar dua pertiga orang pernah mengalami déjà vu setidaknya sekali seumur hidup.
Istilah déjà vu ini diciptakan pada tahun 1876 oleh filsuf Perancis Emile Boirac untuk menggambarkan perasaan kuat bahwa pengalaman yang Anda alami sekarang sudah pernah dialami di masa lalu. Kata “déjà vu” sendiri berasal dari bahasa Prancis yang artinya “pernah merasa atau melihat”.
Déjà vu menjadi misteri karena sifatnya hanya sekilas dan tak terduga, sehingga sulit untuk diteliti. Selama bertahun-tahun, Ilmuwan berusaha mengungkap penjelasan apa yang menyebabkan déjà vu. Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Akira O’Connor dan rekan-rekannya di University of St Andrews, Inggris berhasil mengetahui apa yang terjadi di otak selama déjà vu.
Dalam penelitiannya, O’Connor dan tim berusaha untuk menimbulkan sensasi déjà vu pada partisipan dengan cara menanamkan memori palsu. Tim kemudian memindai otak partisipan yang mengalami déjà vu tersebut menggunakan fMRI. Awalnya, para ilmuwan mengira bahwa area otak yang terlibat dengan pengelolaan memori, seperti hipokampus, akan aktif selama fenomena ini, namun ternyata tidak demikian. Tim justru menemukan lobus frontal, area otak yang terlibat dalam pengambil keputusan menjadi lebih aktif.
O’Connor mengatakan, lobus frontal mengecek seluruh memori kita, dan mengirimkan sinyal jika ada kesalahan memori, yakni konflik antara hal-hal yang telah benar-benar kita alami dan hal yang kita pikir telah kita alami.
“Itu menunjukkan kemungkinan adanya beberapa konflik pengambilan keputusan yang terjadi di otak selama déjà vu terjadi,” kata Stefan Kohler dari University of Western Ontario di Kanada.
Penemuan ini juga menunjukkan bahwa déjà vu merupakan tanda bahwa sistem pengecek memori pada otak bekerja dengan baik. Hal tersebut cocok dengan apa yang disebut efek usia pada memori, sebab déjà vu lebih umum terjadi pada orang-orang berusia muda dan jarang terjadi pada orang berusia tua, karena memori mulai mengalami penurunan. “Langkanya déjà vu pada orang usia tua mungkin menunjukkan penurunan sistem pengecekan umum, sehingga kesalahan memori cenderung terlewatkan,” kata O’Connor.
Meski demikian, bukan berarti bahwa orang yang tak pernah mengalami déjà vu bermasalah dengan sistem pengecekan memori mereka. O’Connor mengatakan, “Bisa jadi, orang yang tak mengalami déjà vu memiliki sistem memori yang lebih baik, sebab jika tak terjadi kesalahan memori pada otak, tak akan ada yang memicu déjà vu.”
Hingga saat ini, ilmuwan belum bisa memastikan apakah déjà vu memiliki manfaat kesehatan. “Kemungkinan, pengalaman déjà vu membuat orang lebih berhati-hati, karena mereka jadi tak terlalu percaya pada memori mereka, tapi bukti-bukti untuk itu belum ada,” pungkas Kohler.
(Lutfi Fauziah/Sumber: newscientist.com, sciencealert.com, bbc.com)