1. KEJAWEN Kejawen (bahasa Jawa Kejawèn) adalah sebuah kepercayaan yang terutama dianut di pulau Jawa oleh suku Jawa dan suku bangsa lainnya...
1. KEJAWEN
Kejawen (bahasa Jawa Kejawèn) adalah sebuah kepercayaan yang terutama dianut di pulau Jawa oleh suku Jawa dan suku bangsa lainnya yang menetap di Jawa. Kejawen hakikatnya adalah suatu filsafat di mana keberadaanya ada sejak orang Jawa itu ada. Hal tersebut dapat dilihat dari ajarannya yang universal dan selalu melekat berdampingan dengan agama yang dianut pada zamannya. Kitab-kitab dan naskah kuno Kejawen tidak menegaskan ajarannya sebagai sebuah agama meskipun memiliki laku. Kejawen juga tidak dapat dilepaskan dari agama yang dianut karena filsafat Kejawen dilandaskankan pada ajaran agama yang dianut oleh filsuf Jawa.
Sejak dulu, orang Jawa mengakui keesaan Tuhan sehingga menjadi inti ajaran Kejawen, yaitu mengarahkan insan : Sangkan Paraning Dumadhi (lit. "Dari mana datang dan kembalinya hamba tuhan") dan membentuk insan se-iya se-kata dengan tuhannya : Manunggaling Kawula lan Gusthi (lit. "Bersatunya Hamba dan Tuhan"). Dari kemanunggalan itu, ajaran Kejawen memiliki misi sebagai berikut:
Mamayu Hayuning Pribadhi (sebagai rahmat bagi diri pribadi)
Mamayu Hayuning Kaluwarga (sebagai rahmat bagi keluarga)
Mamayu Hayuning Sasama (sebagai rahmat bagi sesama manusia)
Mamayu Hayuning Bhuwana (sebagai rahmat bagi alam semesta)
berbeda dengan kaum abangan kaum kejawen relatif taat dengan agamanya, dengan menjauhi larangan agamanya dan melaksanakan perintah agamanya namun tetap menjaga jatidirinya sebagai orang pribumi, karena ajaran filsafat kejawen memang mendorong untuk taat terhadap tuhannya. jadi tidak mengherankan jika ada banyak aliran filsafat kejawen menurut agamanya yang dianut seperti : Islam Kejawen, Hindu Kejawen, Kristen Kejawen, Budha Kejawen, Kejawen Kapitayan (Kepercayaan) dengan tetap melaksanakan adat dan budayanya yang tidak bertentangan dengan agamanya.
Kata “Kejawen” berasal dari kata "Jawa", yang artinya dalam bahasa Indonesia adalah "segala sesuatu yang berhubungan dengan adat dan kepercayaan Jawa (Kejawaan)". Penamaan "kejawen" bersifat umum, biasanya karena bahasa pengantar ibadahnya menggunakan bahasa Jawa. Dalam konteks umum, Kejawen sebagai filsafat yang memiliki ajaran-ajaran tertentu terutama dalam membangun Tata Krama (aturan berkehidupan yang mulia), Kejawen sebagai agama itu dikembangkan oleh pemeluk Agama Kapitayan jadi sangat tidak arif jika mengatasnamakan Kejawen sebagai agama di mana semua agama yang dianut oleh orang jawa memiliki sifat-sifat kejawaan yang kental.
Kejawen dalam opini umum berisikan tentang seni, budaya, tradisi, ritual, sikap serta filosofi orang-orang Jawa. Kejawen juga memiliki arti spiritualistis atau spiritualistis suku Jawa, laku olah sepiritualis kejawen yang utama adalah Pasa (Berpuasa) dan Tapa (Bertapa).
Penganut ajaran kejawen biasanya tidak menganggap ajarannya sebagai agama dalam pengertian seperti agama monoteistik, seperti Islam atau Kristen, tetapi lebih melihatnya sebagai seperangkat cara pandang dan nilai-nilai yang dibarengi dengan sejumlah laku (mirip dengan "ibadah"). Ajaran kejawen biasanya tidak terpaku pada aturan yang ketat dan menekankan pada konsep "keseimbangan". Sifat Kejawen yang demikian memiliki kemiripan dengan Konfusianisme (bukan dalam konteks ajarannya). Penganut Kejawen hampir tidak pernah mengadakan kegiatan perluasan ajaran, tetapi melakukan pembinaan secara rutin.
Simbol-simbol "laku" berupa perangkat adat asli Jawa, seperti keris, wayang, pembacaan mantera, penggunaan bunga-bunga tertentu yang memiliki arti simbolik, dan sebagainya. Simbol-simbol itu menampakan kewingitan (wibawa magis) sehingga banyak orang (termasuk penghayat kejawen sendiri) yang dengan mudah memanfaatkan kejawen dengan praktik klenik dan perdukunan yang padahal hal tersebut tidak pernah ada dalam ajaran filsafat kejawen.
Ajaran-ajaran kejawen bervariasi, dan sejumlah aliran dapat mengadopsi ajaran agama pendatang, baik Hindu, Buddha, Islam, maupun Kristen. Gejala sinkretisme ini sendiri dipandang bukan sesuatu yang aneh karena dianggap memperkaya cara pandang terhadap tantangan perubahan zaman
Kejawen tidak memiliki Kitab Suci, tetapi orang Jawa memiliki bahasa sandi yang dilambangkan dan disiratkan dalam semua sendi kehidupannya dan mempercayai ajaran-ajaran Kejawen tertuang di dalamnya tanpa mengalami perubahan sedikitpun karena memiliki pakem (aturan yang dijaga ketat), kesemuanya merupakan ajaran yang tersirat untuk membentuk laku utama yaitu Tata Krama (Aturan Hidup Yang Luhur) untuk membentuk orang jawa yang hanjawani (memiliki akhlak terpuji), hal-hal tersebut terutama banyak tertuang dalam karya tulis sebagai berikut :
Kakawin (Sastra Kuna) - merupakan kitab sastra metrum kuna (lama) berisi wejangan (nasihat) berupa ajaran yang tersirat dalam kisah perjalanan yang berjumlah 5 kitab, ditulis menggunakan Aksara Jawa Kuno dan Bahasa Jawa Kuno
Babad (Sejarah-Sejarah) - merupakan kitab yang menceritakan sejarah nusantara berjumlah lebih dari 15 kitab, ditulis menggunakan Aksara Jawa Kuno dan Bahasa Jawa Kuno serta Aksara Jawa dan Bahasa Jawa
Serat (Sastra Baru) - merupakan kitab sastra metrum anyar (baru) berisi wejangan (nasihat) berupa ajaran yang tersirat dalam kisah perjalanan yang terdiri lebih dari 82 kitab, ditulis menggunakan Aksara Jawa dan Bahasa Jawa beberapa ditulis menggunakan Huruf Pegon
Suluk (Jalan Sepiritual) - merupakan kitab tata cara menempuh jalan supranatural untuk membentuk pribadi hanjawani yang luhur dan dipercaya siapa saja yang mengalami kesempurnaan akan memperoleh kekuatan supranatural yang berjumlah lebih dari 35 kitab, ditulis menggunakan Aksara Jawa dan Bahasa Jawa beberapa ditulis menggunakan Huruf Pegon
Kidungan (Do'a-Do'a) - sekumpulan do'a-do'a atau mantra-mantra yang dibaca dengan nada khas, sama seperti halnya do'a lain ditujukan kepada tuhan bagi pemeluknya masing-masing yang berjumlah 7 kitab, ditulis menggunakan Aksara Jawa dan Bahasa Jawa
Primbon (Ramalan-Ramalan) - berupa kitab untuk membaca gelagat alam semesta untuk memprediksi kejadian. ditulis menggunakan Aksara Jawa dan Bahasa Jawa
Piwulang Kautaman (Ajaran Utama) - berupa kitab yang terdiri dari Pituduh (Perintah) dan Wewaler (Larangan) untuk membentuk pribadi yang hanjawani, ditulis menggunakan Aksara Jawa dan Bahasa Jawa
Naskah-naskah diatas mencakup seluruh sendi kehidupan orang Jawa dari kelahiran sampai kematian, dari resep makanan kuno sampai asmaragama (kamasutra), dan ada ribuan naskah lainya yang menyiratkan kitab-kitab utama di atas dalam bentuk karya tulis, biasanya dalam bentuk ajaran nasihat, falsafah, kaweruh (pengetahuan), dan sebagainya.
2. ABANGAN
Abangan adalah sebutan untuk golongan penduduk Jawa Muslim yang mempraktikkan Islam dalam versi yang lebih sinkretis bila dibandingkan dengan golongan santri yang lebih ortodoks. Istilah ini, yang berasal dari kata bahasa Jawa yang berarti merah, pertama kali digunakakan oleh Clifford Geertz, namun saat ini maknanya telah bergeser. Abangan cenderung mengikuti sistem kepercayaan lokal yang disebut adat daripada hukum Islam murni. Dalam sistem kepercayaan tersebut terdapat tradisi-tradisi Hindu, Buddha, dan animisme. Namun beberapa sarjana berpendapat bahwa apa yang secara klasik dianggap bentuk varian Islam di Indonesia, seringkali merupakan bagian dari agama itu sendiri di negara lain. Sebagai contoh, Martin van Bruinessen mencatat adanya kesamaan antara adat dan praktik yang dilakukan dahulu kala di kalangan umat Islam di Mesir.
Berdasarkan cerita masyarakat, kata abangan diperkirakan berasal dari kata Bahasa Arab aba'an. Lidah orang Jawa membaca huruf 'ain menjadi ngain. Arti aba'an kurang lebih adalah "yang tidak konsekuen" atau "yang meninggalkan". Jadi para ulama dulu memberikan julukan kepada para orang yang sudah masuk Islam tapi tidak menjalankan syariat (Bahasa Jawa: sarengat) adalah kaum aba'an atau abangan. Jadi, kata "abang" di sini bukan dari kata Bahasa Jawa abang yang berarti warna merah
Definisi Islam abangan adalah sebutan untuk umat muslim atau masyarakat Jawa yang mengaku beragama Islam. Islam abangan ini merupakan perpaduan antara animism, hinduisme dan Islam. Selain itu Islam abangan juga memberikan ruang kepada kepercayaan rumit terhadap roh dan teori mengenai ilmu hitam dan perdukunan
Di sisi lain, selain ada Islam abangan ada juga Islam putihan (santri). Kaum santri di stigmakan sebagai penganut ajaran Islam murni, yang menjalankan syari’at Islam dalam praktek keagamaannya. Stigma tersebutlah yang memicu salah satu pihak mengklaim praktek keagamaan mereka yang paling benar.
Istilah keduanya muncul bersamaan dengan penyebaran Islam yang dibawa oleh Walisongo. Walisongo golongan putihan adalah para wali yang menyebarkan agama Islam di daerah pesisir, walisongo yang termasuk golongan abangan menyebarkan Islam di daerah pedalaman. Kelompok putihan dimotori oleh Sunan Giri yang didukung oleh Sunan Ampel dan Sunan Drajat. Sementara itu, kelompok abangan dipimpin oleh Sunan Kalijaga yang didukung Sunan Kudus, Sunan Bonang, Sunan Muria serta Sunan Gunung Jati
Perbedaan cara berdakwah keduanya terletak pada penerimaan terhadap budaya dan ajaran yang berkembang di sebuah tempat, kelompok putihan memiliki kecenderungan memahami al-Qur`an dan al-Sunnah tanpa sinkretisasi ajaran nenek moyang, sedangkan kelompok abangan masih mentolerir.
Terlepas dari perbedaan pada kedua kelompok muslim Jawa tersebut, dalam proses islamisasi kaum abangan, selamatan merupakan ritual yang memainkan peran urgen dalam laku spiritual. Dalam sejarah islamisasi kaum abangan, terlihat jelas bahwa para wali berdakwah dengan sinkretis, yaitu membiarkan budaya lokal berpadu dengan nilai-nilai Islam. Kecuali, jika budaya-budaya tersebut sangat bertentangan dengan Islam (Halaman 88).
Selamatan di dalam praktek keagamaan kaum Islam abangan pada saat kehamilan dan kelahiran seorang anak, khitanan, perkawinan, kematian, selamatan sesuai tanggal-tanggal seperti satu Syura, 10 Syura, 12 Mulud, 27 Rejeb, 29 Ruwah, tanggal 21, 23, 25, 27 atau 29 pada bulan puasa, 1 dan 7 Syawal dan lain sebagainya.
Kejawen (bahasa Jawa Kejawèn) adalah sebuah kepercayaan yang terutama dianut di pulau Jawa oleh suku Jawa dan suku bangsa lainnya yang menetap di Jawa. Kejawen hakikatnya adalah suatu filsafat di mana keberadaanya ada sejak orang Jawa itu ada. Hal tersebut dapat dilihat dari ajarannya yang universal dan selalu melekat berdampingan dengan agama yang dianut pada zamannya. Kitab-kitab dan naskah kuno Kejawen tidak menegaskan ajarannya sebagai sebuah agama meskipun memiliki laku. Kejawen juga tidak dapat dilepaskan dari agama yang dianut karena filsafat Kejawen dilandaskankan pada ajaran agama yang dianut oleh filsuf Jawa.
Sejak dulu, orang Jawa mengakui keesaan Tuhan sehingga menjadi inti ajaran Kejawen, yaitu mengarahkan insan : Sangkan Paraning Dumadhi (lit. "Dari mana datang dan kembalinya hamba tuhan") dan membentuk insan se-iya se-kata dengan tuhannya : Manunggaling Kawula lan Gusthi (lit. "Bersatunya Hamba dan Tuhan"). Dari kemanunggalan itu, ajaran Kejawen memiliki misi sebagai berikut:
Mamayu Hayuning Pribadhi (sebagai rahmat bagi diri pribadi)
Mamayu Hayuning Kaluwarga (sebagai rahmat bagi keluarga)
Mamayu Hayuning Sasama (sebagai rahmat bagi sesama manusia)
Mamayu Hayuning Bhuwana (sebagai rahmat bagi alam semesta)
berbeda dengan kaum abangan kaum kejawen relatif taat dengan agamanya, dengan menjauhi larangan agamanya dan melaksanakan perintah agamanya namun tetap menjaga jatidirinya sebagai orang pribumi, karena ajaran filsafat kejawen memang mendorong untuk taat terhadap tuhannya. jadi tidak mengherankan jika ada banyak aliran filsafat kejawen menurut agamanya yang dianut seperti : Islam Kejawen, Hindu Kejawen, Kristen Kejawen, Budha Kejawen, Kejawen Kapitayan (Kepercayaan) dengan tetap melaksanakan adat dan budayanya yang tidak bertentangan dengan agamanya.
Kata “Kejawen” berasal dari kata "Jawa", yang artinya dalam bahasa Indonesia adalah "segala sesuatu yang berhubungan dengan adat dan kepercayaan Jawa (Kejawaan)". Penamaan "kejawen" bersifat umum, biasanya karena bahasa pengantar ibadahnya menggunakan bahasa Jawa. Dalam konteks umum, Kejawen sebagai filsafat yang memiliki ajaran-ajaran tertentu terutama dalam membangun Tata Krama (aturan berkehidupan yang mulia), Kejawen sebagai agama itu dikembangkan oleh pemeluk Agama Kapitayan jadi sangat tidak arif jika mengatasnamakan Kejawen sebagai agama di mana semua agama yang dianut oleh orang jawa memiliki sifat-sifat kejawaan yang kental.
Kejawen dalam opini umum berisikan tentang seni, budaya, tradisi, ritual, sikap serta filosofi orang-orang Jawa. Kejawen juga memiliki arti spiritualistis atau spiritualistis suku Jawa, laku olah sepiritualis kejawen yang utama adalah Pasa (Berpuasa) dan Tapa (Bertapa).
Penganut ajaran kejawen biasanya tidak menganggap ajarannya sebagai agama dalam pengertian seperti agama monoteistik, seperti Islam atau Kristen, tetapi lebih melihatnya sebagai seperangkat cara pandang dan nilai-nilai yang dibarengi dengan sejumlah laku (mirip dengan "ibadah"). Ajaran kejawen biasanya tidak terpaku pada aturan yang ketat dan menekankan pada konsep "keseimbangan". Sifat Kejawen yang demikian memiliki kemiripan dengan Konfusianisme (bukan dalam konteks ajarannya). Penganut Kejawen hampir tidak pernah mengadakan kegiatan perluasan ajaran, tetapi melakukan pembinaan secara rutin.
Simbol-simbol "laku" berupa perangkat adat asli Jawa, seperti keris, wayang, pembacaan mantera, penggunaan bunga-bunga tertentu yang memiliki arti simbolik, dan sebagainya. Simbol-simbol itu menampakan kewingitan (wibawa magis) sehingga banyak orang (termasuk penghayat kejawen sendiri) yang dengan mudah memanfaatkan kejawen dengan praktik klenik dan perdukunan yang padahal hal tersebut tidak pernah ada dalam ajaran filsafat kejawen.
Ajaran-ajaran kejawen bervariasi, dan sejumlah aliran dapat mengadopsi ajaran agama pendatang, baik Hindu, Buddha, Islam, maupun Kristen. Gejala sinkretisme ini sendiri dipandang bukan sesuatu yang aneh karena dianggap memperkaya cara pandang terhadap tantangan perubahan zaman
Kejawen tidak memiliki Kitab Suci, tetapi orang Jawa memiliki bahasa sandi yang dilambangkan dan disiratkan dalam semua sendi kehidupannya dan mempercayai ajaran-ajaran Kejawen tertuang di dalamnya tanpa mengalami perubahan sedikitpun karena memiliki pakem (aturan yang dijaga ketat), kesemuanya merupakan ajaran yang tersirat untuk membentuk laku utama yaitu Tata Krama (Aturan Hidup Yang Luhur) untuk membentuk orang jawa yang hanjawani (memiliki akhlak terpuji), hal-hal tersebut terutama banyak tertuang dalam karya tulis sebagai berikut :
Kakawin (Sastra Kuna) - merupakan kitab sastra metrum kuna (lama) berisi wejangan (nasihat) berupa ajaran yang tersirat dalam kisah perjalanan yang berjumlah 5 kitab, ditulis menggunakan Aksara Jawa Kuno dan Bahasa Jawa Kuno
Babad (Sejarah-Sejarah) - merupakan kitab yang menceritakan sejarah nusantara berjumlah lebih dari 15 kitab, ditulis menggunakan Aksara Jawa Kuno dan Bahasa Jawa Kuno serta Aksara Jawa dan Bahasa Jawa
Serat (Sastra Baru) - merupakan kitab sastra metrum anyar (baru) berisi wejangan (nasihat) berupa ajaran yang tersirat dalam kisah perjalanan yang terdiri lebih dari 82 kitab, ditulis menggunakan Aksara Jawa dan Bahasa Jawa beberapa ditulis menggunakan Huruf Pegon
Suluk (Jalan Sepiritual) - merupakan kitab tata cara menempuh jalan supranatural untuk membentuk pribadi hanjawani yang luhur dan dipercaya siapa saja yang mengalami kesempurnaan akan memperoleh kekuatan supranatural yang berjumlah lebih dari 35 kitab, ditulis menggunakan Aksara Jawa dan Bahasa Jawa beberapa ditulis menggunakan Huruf Pegon
Kidungan (Do'a-Do'a) - sekumpulan do'a-do'a atau mantra-mantra yang dibaca dengan nada khas, sama seperti halnya do'a lain ditujukan kepada tuhan bagi pemeluknya masing-masing yang berjumlah 7 kitab, ditulis menggunakan Aksara Jawa dan Bahasa Jawa
Primbon (Ramalan-Ramalan) - berupa kitab untuk membaca gelagat alam semesta untuk memprediksi kejadian. ditulis menggunakan Aksara Jawa dan Bahasa Jawa
Piwulang Kautaman (Ajaran Utama) - berupa kitab yang terdiri dari Pituduh (Perintah) dan Wewaler (Larangan) untuk membentuk pribadi yang hanjawani, ditulis menggunakan Aksara Jawa dan Bahasa Jawa
Naskah-naskah diatas mencakup seluruh sendi kehidupan orang Jawa dari kelahiran sampai kematian, dari resep makanan kuno sampai asmaragama (kamasutra), dan ada ribuan naskah lainya yang menyiratkan kitab-kitab utama di atas dalam bentuk karya tulis, biasanya dalam bentuk ajaran nasihat, falsafah, kaweruh (pengetahuan), dan sebagainya.
2. ABANGAN
Abangan adalah sebutan untuk golongan penduduk Jawa Muslim yang mempraktikkan Islam dalam versi yang lebih sinkretis bila dibandingkan dengan golongan santri yang lebih ortodoks. Istilah ini, yang berasal dari kata bahasa Jawa yang berarti merah, pertama kali digunakakan oleh Clifford Geertz, namun saat ini maknanya telah bergeser. Abangan cenderung mengikuti sistem kepercayaan lokal yang disebut adat daripada hukum Islam murni. Dalam sistem kepercayaan tersebut terdapat tradisi-tradisi Hindu, Buddha, dan animisme. Namun beberapa sarjana berpendapat bahwa apa yang secara klasik dianggap bentuk varian Islam di Indonesia, seringkali merupakan bagian dari agama itu sendiri di negara lain. Sebagai contoh, Martin van Bruinessen mencatat adanya kesamaan antara adat dan praktik yang dilakukan dahulu kala di kalangan umat Islam di Mesir.
Berdasarkan cerita masyarakat, kata abangan diperkirakan berasal dari kata Bahasa Arab aba'an. Lidah orang Jawa membaca huruf 'ain menjadi ngain. Arti aba'an kurang lebih adalah "yang tidak konsekuen" atau "yang meninggalkan". Jadi para ulama dulu memberikan julukan kepada para orang yang sudah masuk Islam tapi tidak menjalankan syariat (Bahasa Jawa: sarengat) adalah kaum aba'an atau abangan. Jadi, kata "abang" di sini bukan dari kata Bahasa Jawa abang yang berarti warna merah
Definisi Islam abangan adalah sebutan untuk umat muslim atau masyarakat Jawa yang mengaku beragama Islam. Islam abangan ini merupakan perpaduan antara animism, hinduisme dan Islam. Selain itu Islam abangan juga memberikan ruang kepada kepercayaan rumit terhadap roh dan teori mengenai ilmu hitam dan perdukunan
Di sisi lain, selain ada Islam abangan ada juga Islam putihan (santri). Kaum santri di stigmakan sebagai penganut ajaran Islam murni, yang menjalankan syari’at Islam dalam praktek keagamaannya. Stigma tersebutlah yang memicu salah satu pihak mengklaim praktek keagamaan mereka yang paling benar.
Istilah keduanya muncul bersamaan dengan penyebaran Islam yang dibawa oleh Walisongo. Walisongo golongan putihan adalah para wali yang menyebarkan agama Islam di daerah pesisir, walisongo yang termasuk golongan abangan menyebarkan Islam di daerah pedalaman. Kelompok putihan dimotori oleh Sunan Giri yang didukung oleh Sunan Ampel dan Sunan Drajat. Sementara itu, kelompok abangan dipimpin oleh Sunan Kalijaga yang didukung Sunan Kudus, Sunan Bonang, Sunan Muria serta Sunan Gunung Jati
Perbedaan cara berdakwah keduanya terletak pada penerimaan terhadap budaya dan ajaran yang berkembang di sebuah tempat, kelompok putihan memiliki kecenderungan memahami al-Qur`an dan al-Sunnah tanpa sinkretisasi ajaran nenek moyang, sedangkan kelompok abangan masih mentolerir.
Terlepas dari perbedaan pada kedua kelompok muslim Jawa tersebut, dalam proses islamisasi kaum abangan, selamatan merupakan ritual yang memainkan peran urgen dalam laku spiritual. Dalam sejarah islamisasi kaum abangan, terlihat jelas bahwa para wali berdakwah dengan sinkretis, yaitu membiarkan budaya lokal berpadu dengan nilai-nilai Islam. Kecuali, jika budaya-budaya tersebut sangat bertentangan dengan Islam (Halaman 88).
Selamatan di dalam praktek keagamaan kaum Islam abangan pada saat kehamilan dan kelahiran seorang anak, khitanan, perkawinan, kematian, selamatan sesuai tanggal-tanggal seperti satu Syura, 10 Syura, 12 Mulud, 27 Rejeb, 29 Ruwah, tanggal 21, 23, 25, 27 atau 29 pada bulan puasa, 1 dan 7 Syawal dan lain sebagainya.