Media Monster antara SARA dan Ahok

Media atau Pers bukanlah mesin pemangsa. Dengan mengikuti perkembangan zaman, media memiliki andil penting dalam menyampaikan pesan terh...

Media atau Pers bukanlah mesin pemangsa. Dengan mengikuti perkembangan zaman, media memiliki andil penting dalam menyampaikan pesan terhadap publik dengan bahasa komunikasi, khalayak atau komunikan. Media swbagai pionir pasca kekuasaan Orde Baru (Orba) runtuh, sebagai wujud nyata reformasi pers.
Pemberitaan Ahok akhir-akhir ini, memenuhi baik Surat Kabar, Online, Radio maupun Televisi. Pemberitaan yang dimunculkanpun kian beragam dengan frame yang mereka bangun dan bukan saja menjadi isu lokal tetapi isu nasional, bahkan sampai ke pemberitaan internasional.
Berita yang membuming, adanya koalisi kekeluargaan yang dibentuk oleh tujuh partai besar, PDI Perjuangan, Demokrat, PKS, PAN, Gerindra, PPP. Koalisi ini pun hangat diperbicangkan publik, apakah koalisi semata mata hanya untuk menjegal Ahok?, atau sebatas serimonial saja. Dan ini sebatas modus curhat ketujuh elite partai ini
Meskipun mereka menyampaikan bahwa, "koalisi ini dibentuk untuk mendulang paslon nantinya dengan memilih orang orang bijaksana, bersih, santun, beretika, santun dan beradab". "Dan untuk memulihkan hubungan antara eksekutif dan legislatif,yang selama ini tidak haromonis antara Ahok dan DPRD DKI Jakarta.
Ini soal redaksi kalimat saja, atau tekstual kalimat politik yang disampaikan oleh ketujuh partai besar ini. Kalau kita mau mengerucut pada substansi terbentuknya koalisi ini. Terbaca bahwa, ini by design untuk menjegal Ahok maju dalam Pilgub 2017 mendatang.
Pertanyaanpun, berhembus apakah Ahok bersitegang dengan anggota DPRD tanpa ada sebab?. Bukankah Ahok ingin menyelamat uang rakyat 1 triliun lebih dari tangan-tangan jahil, menggerus uang rakyat?.
Belum lagi, kalau kita berbicara Rumah Sakit Sumber Waras dan Reklamasi Teluk Jakarta. Ahok dalam hal ini, selalu tampil penuh percaya diri, melawan segala bentuk manufer-manufer politik yang ingin menjatuhkan Ahok dan pihak yang memiliki nafsu untuk menggelapkan uang rakyat dengan berbagi cara.
DKI Jakarta merupakan ikon demokrasi dan memberi contoh yang baik bagi daerah lain di Indonesia, karena Jakarta adalah sentrum demokrasi Indonesia. Dalam konteks Jakarta, merupakan miniatur dari Indonesia juga miniatur dari segala persoalan sosial-politik. Dan kalau kita menilik secara seksama soal mafia yang secara sistematis cara kerjanya, itu ada di Jakarta.
Mungkin kita bisa melihat, bagaimana, ada usaha dari oknum-oknum tertentu untuk membobol uang negara melalui APBD waktu itu. Ini konspirasi-konspirasi tersistem di negara ini, dan itu justru ada di Jakarta sebagai miniatur ibu kota. Hadirnya sosok seorang Ahok mendobrak semua ini, dari tangan-tangan penumpang gelap, yang suka menggerus uang rakyat.
Dalam tataran ini, suatu kewajaran kalau media sangat getol memberitakan pasca pilkada DKI Jakarta. Dan menjadi isu nasional sekalipun, itu suatu kewajaran. Pemberitaanpun bervariasi dari berbagai media dalam konteks Jakarta. Perang pemberitaan kian menggeliat, dan memacu opini publik untuk bersuara. Pemberitaan yang bersifat black campaign tak luput dari sosok seorang Ahok. Dan ini membuktikan bahwa, ada segerombolan elite yang berupaya mendesign ini untuk mencegal Ahok maju dalam Pilgub mendatang.
Isu sara maupun rasis, kian menghembus dibeberapa portal berita cyber. Ini membuktikan, bahwa media sesungguhnya belum memahami reformasi pers, pasca rutuhnya Kepemerintahaan Orde Baru (Orba).
Sandra Ball- Roceachdan Melvin L. DeFleur (1976), teori ini, memfokuskan kepada kondisi, pada struktural suatu masyarakat, dari struktural masyarakat itu cendrung duatu efek media massa. Teori ini dapat diakusisi oleh masyarakat modern dan bagaimana masyarakat modern memberi angggapan bahwa, media massa yang memiliki andil, proses dalam memelihara perubahan, serta konflik dalam tatanan masyarakat dan masalah perorangan dalam aktivitas sosial, (Teori Depedensi Efek Komunikasi Massa).
Membangun semangat kebangsaan dalam konteks kontemporer adalah mempertanyakan bagaimana kondisi kebangsaan saat ini. Dan pers turut memperjuangkan pembebasan rakyat dari penjajahan dan penindasan; pada era kini juga pers harus ikut andil memperjuangkan pembangunan untuk melepaskan rakyat dan turut memperjuangkan pembangunan untuk melepaskan rakyat dari kemiskinan, ketidakadilan, dan kemelaratan.
Sistem demokrasi telah diadopsi di Indonesia, meskipun banyak yang menilai demokrasi yang berjalan baru sebatas prosedural, bukan substansial. Di sisi lain, penegakan hukum sebagai suatu ciri bangsa yang beradab, belum juga berfungsi benar. Praktek korupsi, kolusi dan nepotisme yang semakin subur di Indonesia terutama Jakarta yang merupakan ikon atau miniatur dari Indonesia kian menggeliat. Dan ada nama yang disebut Basuki Purnama mendobrak ini, agar tangan-tangan monster ini dimentahkan.
Publik harus bisa menelaah secara seksama, media yang berkualitas dan tidak berkulaitas dengan menilik banyak media era modern sekarang ini, teutama media cyber yang kerap mendulang kontraversi dengan fakta berita.
Dalam hal ini saya mengutip buku dari Phillip Althoff dan Michael Rush di mana, Robert Le Vine menyelidiki sosialisasi di kalangan dua suku bangsa di Kenya barat-daya:kedua suku bangsa tersebut merupakan kelompok-kelompok yang tidak tidak tersentalisisr dan sifatnya patriarkis, mempunyai dasar penghidupan yang sama ditandai ciri karekteristik dengan permusuhan berdarah.
Di Amerika Serikat dalam komunikasi politik yang dikembangkan oleh Michael Rush dalam sosialisasi masyarakat berkembang dimana, proporsi tertinggi dari anak-anak Amerika yang menyatakan bahwa mereka tidak mempunyai kesempatan untuk mengemukankan pendapa-pendapatnya 18 % dan proporsi yang menurun dengan cepat sejajar dengan kenaikan kelas.
Mungkinlah koalisi kekeluargaan ini, dalam kesepakatan mereka yang bersifat sementara (ad hoc) akan bertahan sampai pilgub akan berlangsung? . Ataukah, ini akan runtuh seketika, melihat dinamika ke depan yang kian menggerus energi juga strategi. Dan juga baju partai dari ketujuh partai ini, yang memiliki idiologi yang berbeda. Melebur dalam satu wajan yang disebut kekeluargaan itu.
Publik melihat, ini lelucon yang tidak perlu dipertonkan para elite partai yang tergabung dalam koalisi kekeluargaan tersebut. Ini bisa memperburuk citra partai di depan publik. Dan ini bukan saja dipertontonkan oleh masyarakat Jakarta tetapi seluruh Indonesia.
Ahok dalam konteks ini, meruntuhkan tiang-tiang mafia ini di Jakarta. Ahok hadir dengan publik figure bersih ingin mencekik cela ini. Kalau masih ada media yang memberitakan keburukan Ahok baik bersifat rasis maupun Sara. Mari kita kembali kepada ruh demokrasi dan Pancasila sebagai fundasi negara ini berdiri. Dan tengoklah, apa yang dilakukan Ahok selama menjadi gubernur DKI Jakarta.
Media Jangan Jadikan Monter
Perkembangan media sekarang begitu pesat, baik media cetak, elektronik (Televisi dan Radio), maupun media online yang kerap disebut media meanstream.
Dalam peri kehidupan yang umum, tindaklah senantiasa berlaku ungkapan persilatan. "Tantang dijauhi apabila, apabila terjadi pantang dielakkan". Tidak kehidupan tanpa tanangan atau challenge yang merupakan perlengkapan dinamika. Tanpa dinamika bukan saja tidak ada perubahan, tetapi sebagai tanda tidak ada lagi kehidupan.
Hukum alamiah inilah yang melekat pada semua aspek kehidupan dan semua kelompok termasuk pers. Pers selalu dalam dinamika yang senantiasa bersua dengan tantangan. Sebaliknya, peluang dapat sirna begitu saja karena momentum peluang dibiarkan berlalu (disadari atau tidak disadari).
Kita bisa melihat, bagaimana saat Jokowi-Ahok jadi gubernur dan wakil gubernur, geliat geliat untuk menebarkan isu SARA sudah beretebaran di media sosial. Saat Jokowi menjadi Presiden dan Ahok jadi gubernur, sangat nampak sekali iau SARA dan rasis itu, menggeliat dan nampak di media sosial maupun portal berita online.
John W. Watshon (1878-1958), seorang ilmuwan Komunikasi dan dijuluki bapak Behaviorisme di Amerika mengatakan, semua prilaku, termasuk tindakan balasan atau dikenal dengan respon diakibatkan dari adanya ransangan stimulus.
Dari pernyataan tersebut kita dapat menyimpulkan, apabila suatu ransangan telah diamati dan telah diketahui, maka respon dari seorang tersebut akan mudah dan dapat diprediksikan, serta prilaku dapat kita pelajari melalui stimulus dan juga respon, (Teori Behaviorisme).
Sejak zaman perjuangan, kemerdekaan, Orde Lama hingga Orde Baru yang terkenal dengan jargon pembangunan, kemerdekaan pers baru dirasakan pasca jatuhnya rezim Soeharto. Pengesahan UU No. 40/1999 tentang pers menegaskan keberadaan kemerdekaan pers kita. UU Pers tidak lagi mengenal Surat Izin Usaha Penerbitan Pers(SIUPP).
Kebebasan pers tidak patut dipertentangkan. Kebebasan pers harus dikorbankan jika bangsa sedang mengalami "persoalan".
Karena justru bangsa mengalamai masalah, kebebasan pers musti dijaga, sebagai salah satu sarana mendialogkan masalah bangsa itu. Agar segenap bangsa masyarakat, dapat terlibat dalam dialog upaya mencari solusi-antara lain melalu pers yang bebas- dan mencegah agar urusan bangsa tidak hanya ditangani atau dimonopoli segelintir orang, kelompok atau elite kekuasan.
Dalam konteks wawasan kebangsaan, pers bukanlah "monster" untuk menakut-nakuti seseorang, melainkan sebagai wadah untuk mengontrol, mengawasi, mengkritik dan menginformasikan kepada khalayak, publik. Karena itu merupakan esensi dari pers.
Dan esensi wawasan kebangsaan sebagai cetak biru tujuan dan cita cita bangsa, pers berperan sebagai pencatat, perekam, saksi, penyebar informasi sekaligus pemantau kinerja untuk mengingatkan segenap bangsa, sejauh mana cetak biru yang telah disepakati telah benar benar dijalankan oleh penyelenggara negara.
Selain sebagai pencatat dan pemantau, pers juga bisa dikatakan juga sebagai aktor penting proses sejarah kebangsaan Indonesia, apa yang dirasakan dan dialami rakyat dalam proses membangun kebangsaan juga dirasakan dan dialami pers.
Pada era kolonial pers Indonesia dikekang, banyak tokoh pers di penjara atau diasingkan, didakwa menyebarkan perasaan kebencian serta penghinaan terhadap pemerintah Belanda, hanya menyampaikan informasi faktual tentang penderitaan rakyat.
Era tiga setengah tahun penjajahan Jepang pers sempat mengalami mati suri tak berdaya, karena pers hanya boleh hidup jika menjadi alat propaganda Jepang.
Sesegera setelah proklamasi kemerdekaan, pers kembali menyuarakan semangat kemerdekaan dan mengajak beberapa bangsa untuk mengisi kemerdekaan itu dan pengakuan dunia Internasional terhadap kemerdekaan Indonsia. Andil pers sebagai penyemangat kemerdekaan mengabarkan ke seluruh pelosok tanah air maupun pelosok dunia.
Pada masa awal pemerintahan Orde Baru juga, pers kembali menikmati kebebasan meskipun itu tidak berlangsung lama (1966-1974) yang dikenal dengan masa madu pemerintah dan pers. Dan bungkamnya pers masa Orde Baru saat meletusnya Malari (15 Januari 1974), karena dinilai pers ikut memanaskan situasi. Dan pada waktu itu, tujuh surat kabar terkemuka di Jakarta diberanguskan atau dibredel dan diizinkan kembali, ketika pemimpin redaksi menandatangani surat permintaan maaf "junalisme pembangun" yang diintrodusir pemerintah Soeharto, sebagai kedok untuk membungkam kebebasan pers.
Pembungkaman terhadap kebebasan pers selalu merupakan sintom atau perampasan kedaulatan rakyat-suatu bentuk 'pengkhianatan' wawasan kebangsaan. Sekuat apapun konsolidasi kekuasan yang merampas kaedaulatan rakyat, pada akhirnya kekuasaan semacam itu tumbang juga.
Saat ini, menilai kebebasan pers terlalu kebablasan. Dan sebagai patner pemerintah, terutama rakyat untuk menginformasikan segala jenis kejadian yang sifatnya faktual, aktual dari sumber kedalaman berita. Itulah esensi dari reformasi pers.
Relevansi pers dalam membangun semangat kebangsaan dalam konteks kontemporer adalah mempertanyakan bagaimana kondisi kebangsaan saat ini. Dan pers turut memperjuaangkan pembebasan rakyat dari penjajahan dan penindasan; pada era kini juga pers harus ikut andil memperjuangkan pembangunan untuk melepaskan rakyat dan turut memperjuangkan pembangunan untuk melepaskan rakyat dari kemiskinan, ketidakadilan, dan kemelaratan. Bukan malah menebarkan isu provokatif dan Sara yang merusak ketatanan suatu bangsa.
Sistem demokrasi telah diadopsi di Indonesia, meskipun banyak yang menilai demokrasi yang berjalan baru sebatas prosedural, bukan substansial. Di sisi lain, penegakan hukum sebagai suatu ciri bangsa yang beradab, belum juga berfungsi benar. Praktek korupsi, kolusi dan nepotisme yang semakin subur di Indonesia. Bahkan korup, jadi predikat yang memalukan masih melekat dalam diri bangsa Indonesia.
Dan nama di sebut Ahok sebagai anak zaman reformasi. Ahok diumpanakan emas yang ada dalam lumpur, lalu diambil dan dietalase. Emas ini dilebur dengan emas-emas lain yang palsu.
Mengajarkan Publik tentang Pers Berkualitas
Pada 23 september 1999, presiden Habibi menandatangani UU No.40 1999 tentang Pers. UU pers baru ini memberikan kebebasan kepada wartawan untuk mencari dan menyampaikan informasi. Pembredelan dan sensor pers tidak lagi diperbolehkan.
Pers berkualitas tidak serta merta bermakna pers yang mampu menghadirkan konten- konten berita atau informasi yang berkualitas kepada masyarakat. Dia harus dapat bersaing dengan bisnis yang sehat dan siap menghadapi pesat teknologi komunikasi.
Pers semacam itu hampir berada ada di Provinsi di Indonesia. Mereka disebut pers mainstream atau pers arus utama keberadaan mampu memberi pengaruh signifikan untuk perkembangan politik, budaya, ekonomi, dan masalah sosial masyarakat.
Dalam literatur pendidikan tentang media atau literasi media, "Pers Berkualitas" dan publik bisa mencernah dengan kecerdasan publik.
Dan hal tersebut, selalu menjadi kata kata kunci. Jika ingin menumbuhkan pers profesional, ajarilah masyarakat cerdas untuk memahami, memilih dan memilah pers.
Masyarakat sebaiknya mengkonsumsi pers berkualitas. Melalui kiat seperti itu dengan mendalami persoalan yang diangkat secara mendalam, dengan sendiri pers yang tidak "berkualitas" akan mati suri, karena tidak ada yang membaca apalagi membeli, mendengar atau menonton. Yang kita butuhkan adalah pers yang berkualitas, pers yang dapat menumbuh kembangkan daya akal sehat masyarakat.
Hanya dengan begitu, kecerdasan masyarakat dalam segala bidang baik politik, budaya, ekonomi dan sosial terbentuk dengan sendirinya.
Bagaimana dengan masyarakat yang cerdas? Disini pers bukan faktor atau penentu tunggal.
Masyarakat semacam ini, tidak hadir dalam hitungan tahun. Diperlukan proses berpuluh puluh tahun untuk mencapainya. Tingkat pendidikan formal masyarakat rata -rata masyarakat lazimnya sejalan dengan tingkat kecerdasan masyarakat. Lalu, apakah masyarakat kita sudah masuk pada tingkat masyarakat cerdas? Setiap orang bisa memiliki persepsi dan jawaban berbeda.
Di luar perdebatan itu, pers tetap berperan sangat banyak dan strategis dalam mendorong tumbuhnya masyarakat yang cerdas. Dalam penyelenggaran pemilihan umum, misalnya, pers digadang-gadang sebagai unsur terpenting untuk mewujudkan pemilih yang jujur, adil dan bermutu melalui penyajian informasi yang dapat memunculkan pemilih pemilih yang cerdas.
Oleh karena itu, kita semua pasti bisa melihat, bagaimana pers memiliki andil penting untuk pertumbuhan suatu bangsa sebagai bentuk reformasi pers.
Faktualitas yang mencerahkan publik. Ahok hadir, sebagai anak zaman reformasi, ingin menjadi Jakarta sebagai miniatur ibu kota negara, sejatinya. Ingin mendobrak sistem -sistem yang merugikan masyarakat ke arah yang lebih baik untuk Jakarta, juga Indonesia sebagai miniatur dari Ibu Kota Negara Republik Indonesia. Semoga.
qureta.com

Nama

artikel,57,astronomi,4,Berita,190,budaya,6,ekonomi,3,fashion,3,gosip,4,hukum,8,inspiratif,7,Internasional,13,islam,21,kesehatan,5,militer,4,nasional,10,olahraga,1,opini,10,Politik,35,populer,6,sejarah,7,selebriti,3,seni,3,spiritual,6,Tausiah,5,tekno,2,tips,3,Unik,6,wanita,1,
ltr
item
Lensa News: Media Monster antara SARA dan Ahok
Media Monster antara SARA dan Ahok
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjy21mil3qY9mupByorpahExUFowhZ8sJ0B8KD4CyrPBOiCndLkJbB3k0e3t8_ahZuEqfoW1vup1dU8nJgAlufK7TW9rguN6nC7qr0tTZ-0gli752NPoqO-86b8mrNKEkb8Bi2OijKdKFib/s640/social-media-monster-featured1.png
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjy21mil3qY9mupByorpahExUFowhZ8sJ0B8KD4CyrPBOiCndLkJbB3k0e3t8_ahZuEqfoW1vup1dU8nJgAlufK7TW9rguN6nC7qr0tTZ-0gli752NPoqO-86b8mrNKEkb8Bi2OijKdKFib/s72-c/social-media-monster-featured1.png
Lensa News
http://lensa-nws.blogspot.com/2016/09/media-monster-antara-sara-dan-ahok.html
http://lensa-nws.blogspot.com/
http://lensa-nws.blogspot.com/
http://lensa-nws.blogspot.com/2016/09/media-monster-antara-sara-dan-ahok.html
true
7788556715240787709
UTF-8
Loaded All Posts Not found any posts LIHAT SEMUA Readmore Reply Cancel reply Delete By Home PAGES POSTS View All RECOMMENDED FOR YOU LABEL ARCHIVE SEARCH ALL POSTS Not found any post match with your request Back Home Sunday Monday Tuesday Wednesday Thursday Friday Saturday Sun Mon Tue Wed Thu Fri Sat January February March April May June July August September October November December Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec just now 1 minute ago $$1$$ minutes ago 1 hour ago $$1$$ hours ago Yesterday $$1$$ days ago $$1$$ weeks ago more than 5 weeks ago Followers Follow THIS CONTENT IS PREMIUM Please share to unlock Copy All Code Select All Code All codes were copied to your clipboard Can not copy the codes / texts, please press [CTRL]+[C] (or CMD+C with Mac) to copy