Ada hal yang menarik saat Anies meninjau lokasi penataan kawasan Tanah Abang kemaren, yaitu Anies dikadali oleh Pedagang Kaki Lima atau PKL ...
Ada hal yang menarik saat Anies meninjau lokasi penataan kawasan Tanah Abang kemaren, yaitu Anies dikadali oleh Pedagang Kaki Lima atau PKL (22/12/2017).
Bagaimana ceritanya?
Untuk lebih jelas, kita mulai dari permasalahan kawasan pasar Tanah Abang.
Pasar terbesar di Indonesia tersebut merupakan salah satu pasar yang terkenal di Asia Tenggara. Letaknya di Jakarta Pusat, DKI Jakarta.
Beberapa pedagang pakaian di provinsi lain, termasuk di daerah saya Bengkulu membeli barang dagangan di pasar Tanah Abang untuk kemudian dijual lagi. Sudah dapat dibayangkan betapa padatnya Kawasan Pasar Tanah Abang.
Karena letaknya di DKI Jakarta maka yang berhak mengatur wilayah Tanah Abang adalah gubernur DKI Jakarta.
Jadi, baik-buruknya pengelolaan Tanah Abang sangat bergantung kepada kebijakan gubernur. Berani tidak gubernur mengambil resiko melawan preman dan penguasa lokal?
Di era kepemimpinan Jokowi pasar Tanah Abang mulai ditata dengan baik. Terlihat beberapa kali Jokowi blusukan ke sana. Jokowi juga memperbaiki serta melengkapi beberapa fasilitas yang ada, demi keamanan dan kenyamanan pedagang maupun pembeli.
Fasilitas lain termasuk internet dan taman bermain anak disediakan.
PKL yang berdagang di kelola dengan baik. Caranya yaitu merelokasi PKL ke Blok G Pasar Tanah Abang. Para pedagang mendapatkan jatah masing-masing kios supaya tidak kembali berjualan di trotoar.
Namun, takdir berkehendak lain. Jokowi yang mulai menata Tanah Abang secara serius terpilih sebagai presiden RI. Tampuk kekuasaan pengurus Tanah Abang dialihkan ke Ahok.
Saat pergantian kekuasaan ini, PKL kembali ke habitatnya, yaitu kembali berjualan di trotoar. Dan di sini terlihat perbedaan yang mencolok antara Jokowi dan Ahok. Ahok memperlakukan PKL yang bandel sangat tegas dan tanpa kompromi. Bahkan ada yang menyebutnya represif.
Hampir setiap hari Satpol PP bersiaga di kawasan Tanah Abang untuk menertibkan PKL yang berjualan di trotoar. Dan Ahok tidak kenal ampun. Bahkan diantaranya para PKL-PKL bandel ini, barang dagangannya diambil agar tidak berdagang lagi di trotoar.
Kemudian di era Djarot. Kecemasan para PKL mulai sedikit berkurang, karena Djarot tidak setegas Ahok dalam menegakkan peraturan. Satpol PP yang biasanya keras, jadi lebih lunak. Hanya saja Djarot tidak begitu lama jadi gubernur.
Saat ini, kuasa pengelolaan Tanah Abang dipegang oleh Anies Baswedan, mantan Mendikbud pecatan Jokowi.
Orang yang selama ini tidak paham masalah di lapangan dan jarang mengeksekusi kebijakan beresiko, tiba-tiba mendapat kepercayaan dari 58% rakyat Jakarta. Itupun melalui isu SARA dan politisasi agama.
Seolah tidak ada rasa takut dan segan kepada Anies, PKL berbondong-bondong berdagang di jalan maupun di trotoar. Seolah Tanah Abang kembali ke jaman old alias jaman kegelapan, semua usaha yang telah dilakukan oleh Jokowi dan Ahok seolah sia-sia bahkan mundur ke belakang. Tanah Abang kembali semerawut.
Baru berapa hari menjabat, Anies sudah dibuat pusing karenanya. Maklum, tidak terbiasa mengambil resiko dalam memutuskan kebijakan.
Bahkan, begitu tidak berwibawanya mereka, sebagai orang yang berkuasa di DKI Jakarta. Sandi, waki Anies pernah dibentak oleh tukang ojek di kawasan Tanah Abang.
Sandi pun bereaksi terhadap pembentakan ini sebagai penghinaan kepada kepala negara. "(Tukang ojek) mengeluarkan kata-kata, apa nih kata-kata ini? Artiinsendiri, deh, bukan kurang sopan, (tetapi) itu penghinaan (kepada) kepala negara. Kalau buat meme saja dihukum, kalau itu (membentak) enggak tahu hukumannya apa," ujar Sandi waktu itu.
Siapa kepala negara? Sandi atau or Jokowi? hehehe
Nah, dalam pengelolaan kawasan Tanah Abang, Anies justru mengakomodir kehendak para pelanggar atau PKL yang berjualan di trotoar, yaitu mengalihfungsikan jalan sebagai tempat mereka berdagang.
Jadi apa yang dilakukan oleh Anies ini sudah merupakan pelanggaran. Bahkan terdapat dua pelanggaran sekaligus.
Pertama menyalahgunaan peruntukan jalan raya, karena fungsinya untuk lalu lintas kendaraan, bukan untuk PKL.
Kedua, memfasilitasi pelanggar. PKL-PKL ini sebelumnya berjualan di trotoar, sedangkan trotoar fungsinya untuk pejalan kaki jadi ada pelanggaran di sini. Seharusnya yang namanya pelanggar ditindak bukan justru difasilitasi.
Tidak hanya itu, yang namanya pelanggar, dikasih hati minta jantung. Dikasih tempat berdagang oleh Anies di jalan raya, tetap saja ada yang nekad berjualan di trotoar. Apakah masalah akan selesai? Hanya ketegasan gubernur yang mampu menjawabnya.
Jika tidak tegas, habislah sudah. Belum lagi di Tanah Abang banyak preman yang ikut-ikutan mengelola dengan embel-embel jasa keamanan dan bisnis lapak.
Bisa jadi, PKL yang paham kondisi lapangan lebih cerdas dari Anies yang pintar merangkai kata-kata. Buktinya, pagi sebelum kedatangan Anies ke Stasiun Tanah Abang, trotoar bersih dari PKL. Namun sesaat setelah Anies pergi, bahkan wangi parfumnya belum hilang, para PKL kembali menempati trotoar yang sejajar dengan stasiun Tanah Abang.
Jadilah mantan rektor dikadalin PKL. Hehehe
Sumber rujukan;