Suami saya adalah orang yang paling berbakti, pada saat awal pernikahan, di dalam hatinya, orang tua akan selalu menjadi yang pertama, tidak...
Suami saya adalah orang yang paling berbakti, pada saat awal pernikahan, di dalam hatinya, orang tua akan selalu menjadi yang pertama, tidak ada yang melebihi dari ini.
Karena dalam benak saya, orang yang berbakti pada orang tua, saya sudah tahu kira-kira orangnya kurang lebih mempunyai sifat yang bagaimana.
Setelah menikah dengannya, keluarga mereka tidak membeli rumah baru lagi, ibu saya mengatakan menikah bukanlah soal uang, asalkan orang itu baik, itu sudah melebihi dari apapun.
Seperti dilansir, Elitereader. Lalu setelah menikah, kami sepasang suami istri tinggal bersama mertuaya dalam satu rumah yang hanya terdiri dari tiga kamar.
Suami ku benar-benar sangat berbakti, biasanya tidak peduli masalah apapun dia pasti mendengarkan ibunya, baik itu masalah besar atau kecil, pokoknya harus melewati saran ibunya baru bertindak.
Mengenai ini terkadang saya masih tidak bisa mengerti, saya cuman berharap setelah menikah nanti dia mungkin akan bertingkah lebih dewasa.
Dua bulan sudah kami lalui dan saya telah hamil, karena saya trauma akan fenomena keguguran dan aborsi, maka saya menghentikan sementara pekerjaan saya, fokus menjaga kehamilan di rumah.
Pada suatu hari saat saya di rumah, ibuku menelepon, ia menceritakan rumah tua kita telah dibongkar untuk pengembangan wirausaha.
Jadi kami diberikan ganti rugi tiga apartemen, satu buat saya, satu untuk saudara saya, dan kemudian tempat orang tua saya tinggal satu.
Kabar ini tidak saya kasih tahu kepada suami saya, karena menurut saya, saya sudah begitu dewasa tidak perlu lagi meminta-minta kepada orang tua.
Selain itu di saat pernikahan, orang tua saya telah memberikan hadiah sebuah mobil yang harganya beratus jutaan rupiah, saya benar-benar merasa malu jika meminta lagi sesuatu dari orang tua saya.
Kabar ini tak sampai sebulan, entah bagaimana suami saya dan ibunya sudah mengetahui kabar tersebut, mengatakan orang tua saya baru mendapat beberapa kamar dari pembongkaran bangunan.
Mereka segera menyuruh saya buru-buru pulang untuk berdiskusi dengan orang tua saya mengenai apartemen ini, agar mendapatkan satu jatah itu.
Saat mereka mengatakan ini, saya sudah menolak, saya berdalih saya sudah menikah, jika ingin tinggal di rumah baru, kita bisa mencari uang sendiri untuk membelinya, kenapa saya harus pulang ke rumah untuk meminta?
Saat itu mertua dan wajah suaminya nampak tidak senang, mulai saat itu tidak mempedulikan diri saya lagi, langsung berpaling pergi.
Setelah apa yag terjadi tadi, saya dianggap sebagai pendusta terbesar di rumah, tidak ada yang mau melihat saya.
Meskipun saya sedang hamil, namun suami juga mengabaikan saya, ibunya juga tidak menyukai saya, di rumah seperti tidak ada satupun yang menyanyangi diriku, dari tidak ada yang mau mengambilikin makan untuk saya, menuangkan secangkir air.
Akhirnya anak dalam kandungan saya sudah penuh bulan, malam itu, tiba-tiba perut saya terasa sakit, sang kakek yang mendengar jeritan saya, dengan segera memanggil suami saya membawa saya ke rumah sakit.
Anak pertama kami telah lahir, berjenis kelamin laki-laki, seketika seisi rumah sangat tegang dengan kehadiran cucu laki-laki seakan telah meringankan banyak beban.
Setelah kelahiran buah hati kami, tidak tahu apa saat proses melahirkan, dokter menyuntikkan anestesi, atau masih lelah, pinggang saya selalu terasa sakit, tetapi suami saya dan ibunya satu kata untuk menyemangati saya pun tidak ada.
Diusir Dari Rumah
Setelah buah hati penuh satu bulan, suami saya memaksa saya bergegas untuk segera pergi bekerja, dia mengatakan bahwa gajinya seorang tidak sanggup menghidupi saya dan buah hati kami.
Ibunya juga ikut menambahkan, di dalam keluarga masih ada beberapa orang, bagaimana mungkin hanya satu orang yang mencari nafkah?
Ia takut anaknya kelelahan!
Padahal, sebelumnya saya sudah berjanji akan menunggu sampai buah hatinya berumur setengah tahun, mertua saya pasti lebih bisa menjaga anak kami dan saya akan balik pada
Saya berkata, jika kamu ingin saya pulang ke rumah, setidaknya antarkan saya kepada orang tua saya, jangan bertingkah begitu egois, malah dia kembali memberi saya sebuah tamparan, lalu berpaling untuk pergi lagi, saya langsung meraih tangannya, tidak ingin dia pergi, terus dia memberi saya tamparan untuk kedua kalinya.
Setelah itu, dia pun tidak menoleh melihat saya, langsung pergi meninggalkan tempat itu.
Saya menggendong buah hati kami pulang ke rumah orang tua saya, sesampai rumah ibu saya bertanya, ada apa dengan wajah mu seperti ini?
Saya yang sudah tak tahan menceritakan semuanya dari awal, ibu saya yang tak tahan juga sudah ingin keluar rumah untuk mencari penjelasan keluarga suami saya.
Ayah saya dengan singgap menarik ibu saya. Ayah dengan bijak mengatakan bahwa keluarga mereka tidak bisa diandalkan lagi, dalam batin mereka sudah tersimpan sifat buruk.
Awalnya saya berpikir, beberapa hari ini dia akan sadar dan menjemput kami kembali, siapa tahu, beberapa hari ini tidak ada satupun dari keluarganya yang datang, maka ayah menelepon kembali ke rumah mereka, berpas-an yang angkat adalah suami saya.
Suami saya berkata, sejak kapan dia berjanji untuk menjemput saya dan anaknya pulang ke rumah.
Apa yang baru saya dengar baru ini hampir membuat saya gila.
Ternyata suami saya masih ngotot soal rumah itu.
Suami Menyesal
Keesokan harinya saya menelepon ayah untuk mengambil kartu keluarga kami, tanpa diskusi langsung menambahkan anak saya ke dalam anggota keluarga saya.
Biarkan anak saya mengikuti nama marga keluarga kami, biarkan anak ini benar-benar masuk ke anggota keluarga kami.
Setelah beberapa hari, dia baru ingat mau memasukkan anaknya dalam kartu keluarga, lalu datang kepada saya meminta bukti medis kelahiran anaknya.
Saya mengatakan kepadanya bahwa anak mereka sudah dibuatkan akta kelahiran, jadi tidak perlu khawatir lagi.
Namun dia tetap memaksa saya untuk mengeluarkan akta anaknya.
Dia melihat, nama marga anak mereka mengikuti nama marga saya, wajahnya seketika marah, sampai sudah ingin memukul saya.
Di saat itu, ayahku berada di dekat kami, dengan cekat ayah mengambil sapu lalu memukuli tubuhnya.
Dengan marah saya mengatakan, saya akan meminta cerai dan soal rumah saya tidak ada urusan dengan dia yang pemalas dan hanya memikirkan tentang keluarganya.
Sontak saja, suami saya langsung berpaling dan mengaku salah. Bahkan sampai sujud meminta maaf atas kehilafannya.
Saya diam saja dan dihati saya sudah tidak ada namanya.