Setelah 7 dekade berlalu, perdebatan mengenai dasar dan falsafah negara kita tidak lantas berakhir. Masih ada saja pihak yang enggan menga...
Setiap bangsa memiliki cara pandangnya masing-masing yang dalam bahasa Jermannya disebut “weltanschauung” atau pandangan soal hakikat, nilai, arti, tujuan hidup di dunia. Ia menjadi “guidance” penunjuk arah aktivitas seorang individu, kelompok sosial hingga sebuah bangsa. Bisa dikatakan Pancasila adalah weltanschauung masyarakat dan bangsa Indonesia.
Ketika Soekarno berada di Ende, Flores, di bawah pohon Sukun tercetuslah nama Pancasila. Namun seperti penuturannya, bukanlah Ia yang menemukan Pancasila. Ya, Pancasila bukan ditemukan, tetapi digali dari rahim ibu pertiwi.
Pancasila merupakan jawaban founding fathers terhadap “gontok-gontokkan” berbagai ideologi yang terjadi pada masanya. Bangsa kita membutuhkan sebuah ideologi pemersatu, perekat dan menjadi identitas yang membedakannya dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Dan semuanya itu termaktub dalam Pancasila.
Namun ternyata, seperti ditegaskan di paragraf awal. Setelah tujuh dekade berlalu, masih saja ada sebagian elemen masyarakat yang menolak Pancasila. Kelompok ini mencoba membenturkan Pancasila dengan Islam. Mereka bahkan menyamakan Pancasila dengan istilah “thagut".
Syaikh Muhammad At-Tamimi menjelaskan bahwa definisi thagut yang paling besar ada lima: Pertama, iblis. Kedua, siapa saja yang dijadikan sesembahan dan dia rida. Ketiga,barangsiapa yang mengajak manusia untuk menyembah dirinya.
Keempat, barangsiapa yang mengetahui tentang ilmu gaib. Kelima, barangsiapa yang berhukum dengan hukum selain yang Allah turunkan. Nah, mengakui Pancasila sebagai dasar falsafah hidup bangsa mereka kategorikan berhukum selain yang Allah turunkan. Dengan sendirinya Pancasila dianggap “thagut”.
Untungnya, tidak semua kalangan muslim sepicik pemikiran mereka. Jika membuka literatur sejarah, di sana terdapat perdebatan yang alot untuk menentukan dasar negara kita di awal-awal kemerdekaan. Diceritakan bahwa setelah upacara proklamasi 17 Agustus 1945, datang berberapa utusan dari wilayah Indonesia Bagian Timur.
Kedatangan mereka tak lain untuk menyampaikan keberatan tentang redaksi kalimat dalam rancangan Pembukaan UUD yang juga merupakan sila pertama Pancasila sebelumnya, yang berbunyi, “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Pada Sidang PPKI I pada 18 Agustus 1945, Bung Hatta lalu mengusulkan mengubah tujuh kata tersebut menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pengubahan kalimat ini tidak sekonyong-konyong, namun telah dikonsultasikan sebelumnya oleh Hatta dengan empat tokoh Islam, yaitu Kasman Singodimejo, Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, dan Teuku M. Hasan.
Mereka menyetujui perubahan kalimat tersebut demi persatuan dan kesatuan bangsa. Dan akhirnya pada Sidang PPKI I pada 18 Agustus 1945, Pancasila pun ditetapkan sebagai dasar negara Indonesia.
Dengan demikian, dari awal kemerdekaan, tokoh-tokoh Islam sendiri legowo dan tidak memaksakan kehendak mereka dengan semena-mena. Teladan yang lain ditunjukkan dalam sidang konstituante 1957-1959.
Kalau kita mau menengok kembali pikiran yang pernah dilontarkan para pemimpin-pemimpin Islam pada saat itu–seperti dituturkan Dawam Rahardjo--tentang Islam dan Pancasila, kita bisa menilai bahwa isi pidato wakil-wakil Islam itu ternyata tidak mengandung pandangan-pandangan yang bertentangan dengan Pancasila (Jurnal Ulumul Qur’an, 1992:2).
Pandangan NU dan Ahmadiyah. Mengapa penulis mengambil perspektif NU dan Ahmadiyah, alih-alih NU dan Muhammadiyah? Pertama, baik Nahdlatul Ulama (NU) maupun Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) muncul hampir berbarengan. Jika NU lahir pada 1926, JAI sebagai organisasi internasional masuk ke Nusantara setahun lebih awal, yakni pada 1925. Inilah yang menarik, bagaimana pandangan dua organisasi ini tentang Pancasila.
Kedua, relasi NU dan Muhammadiyah, serta pandangan mereka terhadap Pancasila bukanlah tema yang baru. Sebaliknya, perspektif dan komitmen JAI sebagai organisasi keagamaan yang cukup lama hadir di tengah-tengah masyarakat kita masih samar-samar saja terdengar. Dua poin inilah yang menjadi pertimbangan penulis menjadikan JAI sebagai “sample”.
Sebagai organisasi Islam terbesar di Nusantara, pandangan NU mengenai Pancasila sudah banyak dibahas. Namun kalau boleh disimpulkan, bagi NU Pancasila sebagai dasar negara adalah final. Keputusan Muktamar NU ke-27 di Situbondo mengukuhkan Keputusan Musyawarah Alim Ulama Nasional NU 1983 yang memutuskan untuk menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas (Amir, 2013:130).
Lantas, bagaimana sikap dan pandangan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) sebagai organisasi yang belakangan menjadi korban persekusi dari kelompok-kelompok intoleran? Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) lahir sebelum negeri ini merdeka, dan kini usianya mendekati satu abad. Selama itu, JAI telah melalui berbagai periode pemerintahan, merentang dari zaman penjajahan Belanda hingga era Reformasi.
Meski sebagai organisasi yang jaringan kerjanya internasional, setiap anggota Ahmadi tetap loyal kepada tanah airnya masing-masing. Hal itulah yang membuat JAI tidak menemukan kendala ketika pada tahun 80-an pemerintah Orde Baru mengharuskan setiap organisasi kemasyarakatan berasaskan Pancasila.
Malah yang menarik, Pemimpin Tertinggi Ahmadiyah Internasional ketika itu, Hazrat Mirza Thahir Ahmad menyatakan bahwa Pancasila merupakan sebuah “Golden Values” (Sinar Islam, 1985). Ajaran Islam yang diyakini para anggota Ahmadi tidak memertentangkan nasionalisme dengan agama. Hal ini mereka hayati benar-benar sesuai tuntunan dari Rasulullah SAW sendiri bahwa “mencintai tanah air adalah sebagian dari iman.”
Pendapat paling mutakhir tentang Pancasila dari kelompok ini disampaikan pada acara bertema “International Peace Symposium” di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta pada 8 Oktober 2014 lalu. Menurut Iftikhar Ahmed Ayaz, perwakilan Jemaat Ahmadiyah Internasional, Pancasila adalah falsafah hidup berbangsa yang unik.
Dengan Pancasila, masyarakat Indonesia yang majemuk bisa diikat dalam satu jiwa kebangsaan. Ia bahkan menilai, kehidupan harmonis di Indonesia yang diikat oleh falsafah Pancasila bisa dijadikan model bagi kehidupan berbangsa oleh negara-negara lain (Darsus, Oktober 2014).
Dengan demikian, bagi NU dan Ahmadiyah, Pancasila telah final. Begitu pula NKRI, Bhinneka Tunggal Ika dan UUD 1945. Keempatnya adalah pilar kebangsaan yang harus senantiasa dijaga di tengah derasnya arus radikalisme yang berusaha merongrong pilar-pilar ini. Beruntung, negara ini masih memiliki organisasi-organisasi yang memiliki komitmen kuat semacam NU, Muhammadiyah dan tanpa harus malu mengakuinya, kelompok Ahmadiyah pun termasuk di dalamnya.